Kesadaran global terhadap pentingnya penggunaan energi hijau semakin meningkat. Salah satu inisiatif yang semakin masif adalah penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berbasis atap.
Dengan komitmen kuat untuk beralih ke energi hijau, Indonesia telah menargetkan untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Langkah itu sejalan dengan nationally determined contribution (NDC) yang menetapkan target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen pada 2030, dan mencapai 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa untuk mencapai target ini, transisi energi harus dilakukan secara adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua pihak. Salah satu strategi utama adalah dengan mendorong penggunaan listrik bertenaga surya.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah merelaksasi kebijakan terkait energi baru dan terbarukan, termasuk penggunaan tenaga surya melalui peraturan baru. Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 2 tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik.
Aturan ini menggantikan peraturan sebelumnya, yakni Permen ESDM nomor 26 tahun 2021, dan memperkenalkan ketentuan baru mengenai kuota pengembangan PLTS atap.
Dalam Permen ESDM tersebut, pemerintah menetapkan kuota PLTS atap di wilayah usaha PT PLN (Persero) untuk periode 2024 hingga 2028 sebesar 1.593 megawatt (MW) atau 1,59 gigawatt (GW).
Dorong Akselerasi
Kuota ini diharapkan dapat mendorong akselerasi pengembangan PLTS atap di seluruh Indonesia. Sejak kuota ini ditetapkan pada akhir Mei 2024, minat masyarakat dan pengembang terhadap pemasangan PLTS atap meningkat secara signifikan.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkapkan bahwa serapan kuota dari pengembang telah mencapai 60 persen, yang menunjukkan tingginya animo terhadap energi bersih ini.
Tidak hanya itu, kapasitas pemasangan PLTS atap di Indonesia juga menunjukkan tren yang positif. Pada 2022, kapasitas terpasang mencapai 80 megawatt peak (MWp), dan meningkat menjadi 141 MWp pada 2023.
Pemerintah menargetkan akumulasi kapasitas terpasang panel surya tahun ini dapat mencapai 770,7 MW. PLN juga telah menetapkan kuota clustering PLTS atap di setiap Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) yang mengacu pada kuota sistem yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
Merespons kebijakan ini, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Mada Ayu Habsari menyambut baik besaran kuota PLTS atap yang telah ditetapkan. Dia menilai, kapasitas kuota yang besar ini menjadi angin segar bagi para penggiat energi surya di Indonesia.
Dengan besaran kuota yang telah masuk ke orde gigawatt, para pelaku usaha dapat dengan mudah menyusun perencanaan mereka, yang diharapkan dapat terimplementasi dengan baik dan sesuai jadwal yang ditetapkan.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan relaksasi pada ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk pembangunan PLTS di Indonesia.
Melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2024, pemerintah merelaksasi aturan TKDN untuk PLTS hingga 30 Juni 2025. Hal ini memberikan ruang bagi pengembang untuk memanfaatkan bahan-bahan yang lebih mudah didapatkan di pasar, sekaligus mendorong tercapainya bauran energi di Indonesia.
Relaksasi ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan PLTS di seluruh negeri, dengan tetap memperhatikan aspek lokal dalam penyediaan komponen pembangkit listrik.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk mencapai target energi bersihnya. Transisi menuju penggunaan energi terbarukan, khususnya PLTS atap, tidak hanya memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.
Dengan dukungan regulasi yang tepat, kolaborasi antar pihak, dan kesadaran publik yang terus meningkat, Indonesia siap untuk mewujudkan masa depan energi yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan. (indonesia.go.id)