JAKARTA – Pendekatan ASEAN sangat konsisten, yaitu ingin membangun kerja sama konkret dan inklusif dengan semua negara untuk menjadikan Indo Pasifik sebagai kawasan damai dan sejahtera.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno L.P. Marsudi mengingatkan kembali bahwa pendekatan ASEAN sangat konsisten, yaitu ingin membangun kerja sama konkret dan inklusif dengan semua negara untuk menjadikan Indo Pasifik sebagai kawasan damai dan sejahtera.
“Jadi singkat kata, kepemimpinan Indonesia di ASEAN akan digunakan untuk meletakkan fondasi yang kuat bagi visi jangka panjang ASEAN post-2025 dengan rentang waktu 20 tahun atau disebut 2045 Vision. Hal ini penting dilakukan untuk mempersiapkan ASEAN menghadapi tantangan jangka panjang. Di sinilah diperlukan penguatan kapasitas dan institusi ASEAN agar ASEAN lebih agile,” kata Menteri Luar Negeri dalam pers briefing di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (5/5/2023).
Dikatakan Menteri Luar Negeri, Indonesia juga ingin membumikan kerja sama konkret dalam ASEAN, ada health, energy, financial stability, trafficking in person karena menyangkut kepentingan rakyat dan juga pekerja migran.
Ini penting untuk dibumikan sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat ASEAN dan untuk mendukung Asia Tenggara sebagai epicentrum of growth. Hal itu juga untuk mendorong kerja sama inklusif dan konkret implementasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).
Perlu diketahui, negosiasi sudah dilakukan cukup panjang. Saat ini perundingan terus berjalan, terutama bagi dokumen-dokumen yang akan dihasilkan dalam KTT ke-42 ASEAN 2023 yang akan digelar di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagaimana biasa, perundingan ini terus akan berlangsung sampai pertemuan sepihak, pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) dan bahkan bisa sampai pada pertemuan tingkat Menlu bila memang ada hal yang belum dapat diselesaikan.
Sejauh ini perundingan dilakukan terhadap sejumlah possible deliverables, antara lain, chair statement; Post-2025 Vision atau 2045 Vision; penguatan kapasitas ASEAN; keanggotaan penuh Timor Leste; penanggulangan perdagangan orang; perlindungan pekerja migran; pelindungan pekerja perikanan; bidang kesehatan; pembentukan jejaring desa; ekosistem kendaraan listrik, dan konektivitas pembayaran di kawasan.
“Jadi itu adalah isu atau dokumen yang saat ini sedang dinegosiasikan oleh negara anggota ASEAN,” kata Menteri Retno Marsudi.
Retno mengatakan, pada tahap awal keketuaan, Indonesia memutuskan untuk mengambil pendekatan non-megaphone diplomacy. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang bagi para pihak untuk membangun trust dan agar para pihak lebih terbuka dalam berkomunikasi. Pendekatan ini disambut baik oleh para pihak termasuk stakeholders di Myanmar.
“Non-megaphone diplomacy atau quiet diplomacy bukan berarti Indonesia tidak melakukan apa pun. Yang terjadi sebaliknya adalah dalam empat bulan ini Indonesia telah melakukan banyak hal yang mudah-mudahan akan menjadi modal bagi upaya selanjutnya,” katanya.
Menurutnya, fokus saat ini adalah melakukan engagements dengan sebanyak mungkin stakeholders yang merupakan mandat the Five-Point Consensus (5PC). Selama empat bulan ini, telah dilakukan lebih dari 60 kali engagements dengan berbagai pihak di Myanmar. Engagements dilakukan baik dalam bentuk in-person virtual maupun kunjungan lapangan dan dengan berbagai stakeholders seperti SAC, NUG, EAOs; juga dengan negara kunci/tetangga seperti India, RRT, AS, EU, Jepang, Thailand; dan juga dengan PBB.
“Banyak sekali negara kunci dan negara tetangga yang kita engage,” papar Retno.
Dalam engagements, Indonesia mendorong untuk segera dilakukan dialog nasional yang inklusif. Hanya saja perbedaan posisi di antara mereka para stakeholders yang ada di Myanmar masih cukup lebar dan dalam.
“Meski demikian, Indonesia tidak akan menyerah sebagai chair dan akan terus mencoba memainkan peran sebagai jembatan dari berbagai perbedaan dan akan terus melakukan engagements,” tegasnya.
Kemudian (kedua), hal yang terus disuarakan oleh Indonesia selama melakukan engagement adalah menyuarakan pentingnya segera dihentikannya penggunaan kekerasan.
“Kita semua prihatin dengan meningkatnya kekerasan di Myanmar yang telah memakan korban sipil cukup banyak. Indonesia sebagai Ketua ASEAN mengecam keras penggunaan kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil yang semakin banyak. Kekerasan harus dihentikan, saya ulangi kekerasan harus segera dihentikan. Tanpa dihentikannya kekerasan, maka tidak akan ada perdamaian di Myanmar. Keselamatan rakyat Myanmar harus terus menjadi perhatian kita semua,” papar Menlu.
Hal ketiga adalah mengenai bantuan kemanusiaan yang juga mandat dari 5PC, dan bantuan kemanusiaan ini dikoordinir oleh Sekjen ASEAN yang dijalankan oleh The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre).
Ada dua tahap bantuan kemanusiaan. Pertama, terkait dengan life saving, telah selesai dilakukan karena terkait dengan bantuan penanggulangan Covid-19. Masuk ke tahap kedua (life sustaining) yang sempat alami hambatan karena kurangnya akses kepada AHA Centre untuk menjangkau penduduk yang memerlukan, terutama di wilayah-wilayah yang di luar kontrol militer Myanmar.
“Setelah press briefing ini saya akan melakukan komunikasi lagi dengan stakeholders di Myanmar agar proses humanitarian assistance ini dapat dilakukan sesuai dengan pembicaraan yang sudah kita lakukan selama empat bulan ini. Saya akan melakukan komunikasi dengan stakeholders untuk memastikan bahwa ada kemajuan di bidang pemberian bantuan kemanusiaan. Tentunya semua perkembangan akan dilaporkan di KTT ke-42 nanti,” kata Retno Marsudi.
Penulis: Eri Sutrisno