Kulkas Merk Jepang, Diproduksi di Pasar Rebo, Kembali ke Jepang

Kulkas Merk Jepang, Diproduksi di Pasar Rebo, Kembali ke Jepang

Sejumlah industri manufaktur Jepang bermigrasi ke Indonesia dan produksinya sebagian kembali ke Jepang. Transformasi industri terjadi baik di Jepang maupun Indonesia. Demi daya saing.

Dengan prosesi ringkas dan sederhana, manajemen PT Panasonic Manufacturing Indonesia (PMI) melepas  ekspor perdana produk kulkasnya ke Kamboja, Jumat (23/9/22). Kulkas dua pintu buatan pabrik PT PMI yang berlokasi di Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, itu menggantikan produk dari Vietnam dengan brand yang sama, Panasonic. Alasannya, kulkas dari Pekayon itu dipercaya lebih mampu bersaing dengan brand lain di pasar Kamboja.

Ekspor produk elektronik ke Kamboja itu bukan kali pertama. Untuk kulkas, Kamboja adalah pasar ekspor ke-8 setelah Hong Kong, Malaysia, Myanmar, Uni Emirat Arab,  Kuwait, Oman, dan bahkan Jepang sendiri. Bukan hanya kulkas, PT PMI telah pula mengekspor produk perkakas elektronik lain seperti pompa air, mesin cuci, oven, produk audio, dan beberapa lainnya.

Setahun sebelumnya, pada 23 September 2021, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengunjungi pabrik Panasonic, di Pekayon, Pasar Rebo. Hari itu, Menteri Agus menghadiri acara ekspor perdana mesin cuci Panasonic ke Jepang. Secara keseluruhan,  PT PMI yang beroperasi di Indonesia sejak 1970 itu telah mengekspor produknya ke 30 negara baik di kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika.

‘’Peningkatan ekspor oleh PT PMI bisa memberikan efek berganda yang positif bagi perekonomian Indonesia, seperti penyerapan tenaga kerja maupun potensi perluasan investasi, di mana komposisi ekspor PT PMI ialah sebesar 21% dari total produksinya di Indonesia,’’ ujar  Vice President Director PT PMI Daniel Suhardiman.

Panasonic adalah brand yang sangat dikenal di Indonesia, yang muncul sejak 1988. Industri produk elektronik ini lahir dari kerja sama pengusaha Indonesia yang beken dengan sebutan keluarga Gobel dengan Matsushita Electric Industrial Co. Semula pada 1970, digunakan brand National yang bertahan hingga 1988. Setelah itu, brand yang digunakan adalah National-Panasonic.

Namun, dengan menguatnya nama Panasonic maka brand itu pun digunakan untuk seluruh produk dari industri Matsushita. Termasuk di dalamnya, nama Panasonic disematkan untuk menggantikan brand Sanyo, sejak 2012. Dengan brand yang kuat itu, langkah Panasonic di Indonesia pun tak hanya memproduksi barang substitusi impor. Melainkan, masuk ke strategi ekspor. Sebanyak sekitar 40 persen produk kulkas Panasonic Indonesia menyasar pasar ekspor.

Untuk meningkatkan kemampuan ekspor itu, Panasonic tak harus membangun pabrik baru. Sebut saja untuk produksi mesin cuci dan kulkas yang kualitasnya bersaing di pasar dunia, PT PMI tak harus berinvestasi besar. Pasalnya, perusahaan itu tinggal merelokasi pabrik Panasonic yang ada di Tiongkok, yang harus menghadapi persaingan keras di pasar lokalnya.

Jadi, kulkas Panasonic itu awalnya diproduksi di Jepang. Lantas diadopsi ke Tiongkok, pindah ke Indonesia, dan produknya sebagian kembali ke Jepang. Dan ternyata, relokasi itu dapat menambah daya saing Panasonic.

Kini, bukan hanya kuat di pasar domestik, Panasonic pun telah mampu masuk ke pasar ekspor. Kontan capaian itu mendapat apresiasi dari Menteri Agus. ‘’Apresiasi yang tinggi  saya sampaikan kepada seluruh jajaran Panasonic Manufacturing Indonesia, atas dukungannya terhadap upaya  pemerintah mendorong kegiatan ekspor industri elektronika,’’ kata Menteri Agus, dalam keterangan resminya di situs Kementerian Perindustrian, Senin (26/9/2022).

Capaian ekspor itu, kata Agus, merupakan bukti nyata sinergi antara pemerintah dan pelaku industri. Ekspor kulkas dan mesin cuci menjadi bukti bahwa produk elektronika Indonesia diakui kualitasnya oleh pasar Internasional. Produk kulkas sendiri menghasilkan nilai ekspor USD374,4 juta di tahun 2021.

Panasonic tentu bukan pemain tunggal di pasar ekspor. Kulkas produk Indonesia lain dengan brand LG, Sharp, Toshiba, Samsung, Polytron, juga mampu berselancar di pasar ekspor. Pemerintah, menurut Menteri Agus, mendukungnya dengan menghadirkan kebijakan dan ekosistem industri yang lebih konstruktif.

Industri elektronika di Indonesia memang terus melakukan transformasi. Ketika industri-industri itu dibangun di awal 1970-an, prioritasnya ialah substitusi impor, atau menggantikan produk impor dengan produk dalam negeri, meski dengan komponen impor pula. Berikutnya, mereka melakukan investasi membangun komponen lokal yang lebih mudah dengan kualitas bersaing.

Hasilnya, industri itu bisa melepas predikatnya sebagai jago kandang, dan berani bersaing di pasar internasional. Bukan hanya pada sektor manufaktur elektronika, transformasi pun terjadi pada sektor petrokimia, tekstil, garmen, makanan olahan, bahkan otomotif. Di sektor otomotif, semua pabrikan melakukan ekspor. Sebagian masuk ke pasar Jepang juga.

Ekspor di 2021 mencapai 295 ribu unit. Jumlah yang hampir setara dengan angka produksi mobil nasional di awal tahun 1990-an. Sementara itu, ekspor 2021 mengalami kenaikan 27 persen dari capaian 2020.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), ekspor mobil utuh (completely  built up/CBU) dari Indonesia tahun dipimpin oleh Daihatsu sebanyak 41,6 persen dan Toyota di posisi kedua dengan 22,8 persen.

Pada peringkat berikutnya ada Mitsubishi Motors (16,6 persen), Suzuki (14,8 persen), Honda 7,350 unit (2,5 persen), Hino 2,870 unit (1,0 persen), dan Hyundai (0,3 persen). Bahkan, ada pendatang baru seperti DFSK dan Wuling, keduanya brand dari Tiongkok, yang juga ikut meramaikan pasar ekspor.

Toh, negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan juga melakukan transformasinya sendiri. Struktur industri di kedua negara juga sudah berubah. Tak ada lagi televisi atau kulkas, buatan Korea Selatan atau Jepang, apalagi pompa air dan kipas angin. Pengusaha kedua negara telah berinvestasi di negara lain, dengan membawa teknologinya, untuk kemudian dipasarkan di negara tersebut.

Sebagian lain dipasok ke pasar internasional. Termasuk ke Jepang sendiri, seperti pada kasus kulkas dan mesin cuci Panasonic. Industri manufaktur telah bergerak ke tataran teknologi yang lebih tinggi.

Industri Jepang kini lebih bertumpu pada teknologi maju, seperti di bidang robot, komputer, semikonduktor, aerospace, farmasi, bioindustri, biomedicine, petrokimia, perkapalan, atau metalurgi, seperti baja dan tembaga khusus dengan spesifikasi yang tinggi. Namun, keunggulan  seni budaya mereka pun tak hendak  disia-siakan.

Jepang dan Korea Selatan tetap memproduksi makanan olahan dan tekstil, dengan kualitas premium. Jepang pun terus menggenjot industri pariwisatanya. Bila pada 2009 Jepang hanya didatangi 6,8 juta wisatawan mancanegara (wisman), angkanya berlipat menjadi 31,8 juta pada 2019.

Penerimaan devisa dari pariwisatanya meningkat pesat dari USD12,5 miliar di 2009 menjadi USD42,2 miliar di 2019. Jepang memanfaatkan betul keunggulan seni budaya, teknologi, kekayaan heritage, dan tradisinya yang gemar melayani, untuk mendorong industri pariwisata.

Jepang telah menstransformasikan industrinya secara cepat, dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Utamanya ialah sumber daya manusia.

 

Penulis: Putut Trihusodo