Payung Hukum Mengendalikan Inflasi Daerah

Payung Hukum Mengendalikan Inflasi Daerah

Presiden Jokowi menargetkan inflasi rata-rata nasional 2022 di bawah 5 persen. Peraturan Menkeu bisa menjadi payung hukum untuk Belanja Wajib Pemerintah Daerah demi pengendalian inflasi.

Keturutsertaan pemerintah daerah dalam pengendalian inflasi itu bukan pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Penegasan itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat memberikan arahan dalam pertemuan dengan seluruh kepala daerah secara luring dan daring, di Istana Negara, Jakarta, Senin, 12 September 2022. Para kepala daerah itu didorong agar tidak bimbang membelanjakan sebagian APBD untuk pengendalian inflasi.

‘’Tidak perlu ragu-ragu menggunakan anggaran yang ada, karena sudah ada peraturan dari Menteri Keuangan dan surat edaran Menteri Dalam Negeri. Payung hukumnya jelas. Yang penting, penggunaannya betul-betul dalam rangka menyelesaikan persoalan karena penyesuaian harga BBM, yang minggu lalu baru disampaikan,” ucap Presiden Jokowi.

Setelah pemerintah menaikkan harga BBM, yakni solar, pertalite, dan pertamax, pada 3 September 2022, terbit Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) RI nomor 134/PMK.07/2022  tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi, 5 September 2022. Peraturan Menkeu tersebut disusul SE Mendagri dengan tema yang sama yang dibagikan ke seluruh gubernur, bupati, dan wali kota.

Permenkeu 134/PMK.07/2022  mewajibkan seluruh pemerintah menjalankan belanja wajib itu untuk perlindungan sosial. Adapun yang dimaksud belanja wajib itu, antara lain, (a) pemberian bantuan sosial, termasuk ke ojek, usaha mikro,  kecil, menengah, dan nelayan; (b) penciptaan lapangan kerja;  serta (c) pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah. Belanja wajib dilaksanakan pada Oktober hingga Desember 2022.

Dana perlindungan sosial itu, menurut Permenkeu 134/PMK.07/2022 , jumlahnya dibatasi sebesar dua persen dari Dana Transfer Umum (DTU) di masing-masing daerah. Dana bagi hasil (DBH) tak disertakan. Alokasi DTU yang dimaksudkan oleh Permenkeu ialah dua persen dari anggaran penyaluran dana alokasi umum (DAU) periode Oktober–Desember 2022. Selanjutnya, pemda akan melaporkan penganggaran dan realisasinya kepada  Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Dana perlindungan sosial pascakenaikan BBM, yang dicuil dari DTU itu masih tersedia di brankas daerah. Dengan realisasi pemakaian anggaran di daerah yang rata-rata baru tercapai 47 persen, Presiden Jokowi juga mengizinkan pemakaian anggaran belanja tidak terduga untuk pengendalian inflasi.

‘’Kalau kita lihat posisi per hari ini, dana dua persen dana transfer umum itu masih kira-kira Rp2,17 triliun. Kemudian belanja tak terduga Rp16,4 triliun baru digunakan Rp6,5 triliun. Artinya masih ada ruang yang cukup besar untuk menggunakan dana alokasi umum maupun belanja tak terduga itu oleh provinsi, kabupaten, maupun kota,” ujar Presiden Jokowi.

Dana tersebut, lanjut Presiden Jokowi, dapat digunakan pemda untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak akibat penyesuaian BBM, seperti nelayan, tukang ojek, hingga  pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dalam bidang transportasi, pemda dapat membantu transportasi umum yang mengalami kenaikan tarif.

‘’UMKM bisa dibantu dalam pembelian bahan baku yang naik karena ada penyesuaian harga BBM. Transportasi umum pun bisa dibantu kenaikan tarifnya. Berapa yang dibantu bukan total dibantu, tapi kenaikan tarif yang terjadi itu bisa dibantu lewat subsidi ini,” Presiden Jokowi menambahkan.

Selain itu, pemda dapat memanfaatkan komponen anggaran lain, yaitu belanja tak terduga untuk mengendalikan inflasi di daerah masing-masing seperti kenaikan bahan pangan. Misalnya, terjadi kenaikan harga bawang merah, Presiden Jokowi mengatakan, agar pemda bisa membantu biaya transportasi agar harga bawang merah di petani dan di pasar tetap sama.

Presiden mewanti-wanti para kepala daerah agar waspada akan inflasi, utamanya yang berkaitan dengan harga pangan. Pasalnya, harga pangan berkontribusi cukup besar terhadap kemiskinan di daerah. Apabila harga pangan naik, Presiden Jokowi menyebut, angka kemiskinan juga akan ikut naik.

“Utamanya beras sebagai komponen utama. Jadi, hati-hati kalau harga beras di daerah bapak, ibu sekalian itu naik, meskipun hanya Rp200 atau Rp500, segera diintervensi. Karena itu menyangkut kemiskinan di provinsi, di kabupaten, dan di kota yang bapak dan ibu pimpin. Itu efeknya bisa naik angka kemiskinannya,” tandasnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM itu berpotensi menaikkan angka inflasi sampai 1,8 persen. Bila pada Agustus inflasi tercatat di level 4,69 persen year on year (yoy), dengan tambahan 1,8 persen, maka inflasi di September atau Oktober bisa melonjak ke 6,5 persen yoy. Namun, Presiden Jokowi berharap, Indonesia bisa menekan angka inflasi nasional rata-ratanya  di bawah 5 persen di sepanjang 2022.

Maka, pada kesempatan berbicara di depan kepala daerah itu, Presiden Jokowi sempat menyentil sejumlah daerah yang mencatat angka inflasi tertinggi. Lima kabupaten/kota yang kini mencatat inflasi tertinggi ialah Kota Luwuk (Sulawesi Tengah) 7,8 persen, Kota Jambi 7,7 persen, Kabupaten Kotabaru (Kalimantan Selatan) 7,6 persen, Kota Sampit (Kalimantan Tengah) 7,5 persen, dan Kota Tanjung Selor (Kalimantan Utara) dengan 7,4 persen.

‘’Ini kabupaten dan kota yang inflasinya tertinggi. Tolong dilihat, dan agar segera dapat  dilakukan intervensi di lapangan,” pesan Presiden Jokowi.

Kepala negara juga menyebut, 10 provinsi dengan inflasi tertinggi. Masing-masing adalah Provinsi Jambi 7,7 persen, Sumatra Barat 7,1 persen, Kalimantan Tengah 6,9 persen, Maluku 6,7 persen, Papua 6,5 persen, Bali 6,4 persen, Bangka Belitung 6,4 persen, Aceh 6,3 persen, Sulawesi Tengah 6,2 persen, dan Kepulauan Riau 6 persen.

Pemerintah pusat telah melakukan intervensi langsung. Teknisnya adalah melalui bantuan tunai langsung untuk 20,65 juta penerima manfaat serta subsidi gaji untuk 16 juta penerima manfaat. Nilai bantuan sosial ini seluruhnya Rp24,2 triliun. Bila daerah menggelontorkan bansos dari dua persen pos DTU dan ditambah belanja tak terduga, efeknya tentu akan jauh lebih terasa.

Penulis: Putut Trihusodo