Potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan. Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial yang belum tereksplorasi yang ditawarkan kepada investor.
Indonesia memiliki potensi investasi hulu migas yang besar. Untuk menarik investasi yang lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia memberikan berbagai kebijakan menarik, seperti fleksibilitas kontrak yang memungkinkan para kontraktor memilih skema PSC cost recovery atau gross split. Kebijakan juga terkait perbaikan terms and conditions pada putaran lelang, insentif fiskal dan nonfiskal, perizinan online, dan penyesuaian regulasi untuk WK Migas nonkonvensional.
Pemerintah Indonesia juga telah membangun infrastruktur gas bumi di seluruh Indonesia. Sebagai negara produsen, peningkatan investasi gas bumi menjadi penting untuk menjamin keamanan pasokan dan menstabilkan harga gas.
“Hal ini dapat dicapai, antara lain, melalui kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Penting juga untuk mengembangkan lebih banyak infrastuktur untuk meningkatkan pemanfaatan gas alam. Lebih banyak pembiayaan dan investasi diperlukan untuk memperluas pembangunan infrastruktur. Kami juga menyadari bahwa stabilisasi pasar gas global membutuhkan kerja sama dari semua pihak, termasuk produsen, konsumen, investor, dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji dalam sambutannya pada Agenda Paralel Energy Transitions Working Group (ETWG) Presidensi G20 Indonesia, bertajuk “Exploring Short-term Solutions for the Global Gas Crisis”, bersama Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), pada Senin, 29 Agustus 2022.
Potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan dengan cadangan terbukti sekitar 41,62 TCF. Meski cadangannya tidak signifikan dibandingkan cadangan dunia, Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial yang belum tereksplorasi, yang ditawarkan kepada investor.
Pada neraca gas Indonesia 2022–2030, Indonesia diproyeksikan memenuhi seluruh permintaan produksi domestik, mulai dari suplai eksisting, suplai proyek, dan suplai potensial. Selain itu, peran LNG juga dapat dioptimalkan.
Sesuai proyeksi, akan terdapat peningkatan produksi LNG pada 2028. Dalam 10 tahun mendatang, Indonesia akan surplus gas hingga 1.715 MMSCFD, berasal dari proyek potensial di berbagai daerah di Indonesia.
“Proyek-proyek tersebut, antara lain, Masela yang akan mulai berproduksi setelah pertengahan dekade ini dan proyek IDD yang diharapkan dapat mendukung produksi LNG Bontang. Ada juga Andaman dan Agung, yang diharapkan bisa berkontribusi pada neraca gas dalam jangka panjang,” jelas Tutuka.
Tutuka memaparkan, produksi LNG Bontang pada 2026 diperkirakan 27,7 kargo. Pada tahun berikutnya, produksi akan meningkat menjadi 56,2 kargo. Sejak selesainya ekspor LNG jangka panjang pada tahun 2025, semua produksi LNG diharapkan belum terkontrak.
Dari Blok Masela diperkirakan pada 2028 produksi LNG sekitar 149,2 kargo dan hingga tahun 2035 produksinya relatif stabil. Sebanyak 64,3% produksi gas Indonesia pada 2021, digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan total gas yang disalurkan adalah 5.734,43 BBTUD.
Dari jumlah tersebut, sebesar 27,45% untuk kebutuhan industri, ekspor berupa LNG sebesar 22,18%, pupuk 12,08%, ekspor 13,14%, dan listrik 11,90%. “Indonesia juga memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik LNG dan LPG masing-masing sebesar 8,56% dan 1,56%. Sebagian kecil dari sisa konsumsi adalah untuk gas kota dan gas untuk bahan bakar transportasi,” jelasnya.
Terkait ekspor LNG, Indonesia mengekspor LNG ke beberapa negara, dengan total volume ekspor 459,55 juta MMBTU pada 2021. Untuk LNG hulu, Tiongkok merupakan importir terbesar LNG Indonesia dengan volume 251,82 juta MMBTU, diikuti Republik Korea sebesar 80,23 juta MMBTU dan Jepang sebesar 63,76 juta MMBTU.
Sedangkan di hilir LNG, Indonesia mengekspor total 110,98 juta MMBTU dengan tujuan utama Jepang, Republik Korea, dan China Taipei. Sementara itu terkait infrastruktur, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan infrastruktur gas alam di seluruh wilayah. Sebagai negara kepulauan, pembangunan infrastruktur menjadi tantangan tersendiri, terutama di Indonesia bagian timur yang memiliki pulau-pulau kecil dan terpencil.
Di Indonesia bagian barat, telah terbangun pipa eksisting, regasifikasi LNG mini, kilang LNG dan FSRU. Saat ini, tengah dibangun juga pipa yang menghubungkan hampir setiap wilayah di Sumatra dan Jawa dengan pipa transmisi.
Di bagian timur, pemerintah berencana mengembangkan FSRU dan regasifikasi mini LNG. Juga, program konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas di 33 lokasi dengan total kapasitas 1.198 MW dan kebutuhan gas 83,74 BBTUD.
Pada kesempatan yang sama, Chair ETWG Yudo Dwinanda Priaadi menekankan bahwa stabilitas pasar gas sangat penting. Salah satunya bahwa gas membuka akses kepada sumber energi bersih yang terjangkau dan andal, serta untuk sumber energi pembangkit listrik. Gas bumi dapat menjadi sumber energi yang mampu menyediakan pasokan energi yang fleksibel dan tidak terputus.
“Gas adalah material kunci untuk berbagai industri, seperti industri pupuk, baja, dan petrokimia. Gas juga sumber energi kunci untuk menyediakan energi yang lebih bersih dan andal untuk rumah tangga, terutama bagi negara berkembang. Gas juga menjadi jembatan bagi pengembangan sumber energi terbarukan,” jelas Yudo.
Terakhir, gas alam menjadi penting untuk meningkatkan pengembangan hidrogen sebagai salah satu dari teknologi energi bersih yang paling menjanjikan di masa depan. Hidrogen yang diproduksi dari gas dapat menjadi pelengkap hidrogen dari energi terbarukan.
“Menyadari pentingnya peran gas, maka stabilitas pasar gas global perlu dijaga. Ketidakstabilan pasar gas kemungkinan akan berdampak negatif pada perekonomian secara keseluruhan. Ketidakpastian gas global yang sedang berlangsung juga dapat mengganggu perjuangan kita untuk Recover Together, Recover Stronger, seperti yang telah disuarakan oleh Presidensi G20,” pungkas Yudo. (Eri Sutrisno)