Pemerintah Indonesia memiliki strategi besar menuju ekonomi hijau.
Penerapan keuangan berkelanjutan menjadi salah satu isu yang diangkat dalam pertemuan puncak G20, di Bali, pada November mendatang. Isu itu merupakan satu dari enam agenda prioritas yang dipimpin oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dalam Presidensi G20 Indonesia 2022.
Isu keuangan berkelanjutan itu terkait dengan upaya mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang dapat mendukung upaya dunia dalam mengatasi perubahan iklim (sustainable finance), termasuk menangani risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon. Sebagai bagian negara dunia, Indonesia pun menyadari potensi dan peluang itu.
Oleh karena itulah, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo dalam pelbagai kesempatan selalu mendorong implementasi ekonomi hijau. Baik itu berupa energi hijau, keuangan hijau, teknologi hijau, hingga produk hijau.
Dalam rangka mengakselerasinya, Indonesia bahkan bergabung dengan Clean Energy Demand Initiative (CEDI). CEDI merupakan sebuah inisiatif dari Pemerintah Amerika Serikat yang bersedia melakukan investasi di sektor energi bersih. Sebagai implementasi Indonesia menuju energi hijau, bangsa ini sudah menetapkan sejumlah target yang harus dicapainya. Misalnya, penggunaan energi baru dan terbarukan yang diharapkan porsinya mencapai 23 persen di energi primer pada 2025.
Dengan sejumlah target itu diharapkan, pengurangan emisi karbon bisa mencapai 29–41 persen berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 dan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional.
Dalam pelbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo juga sempat melontarkan pernyataan bahwa pemerintah memiliki strategi besar menuju ekonomi hijau. Indonesia akan mengarah ke ekonomi hijau atau green economy, kata Presiden Jokowi, karena bangsa ini mempunyai kekuatan besar. “Kita harus mulai menatanya,” ujarnya.
Untuk menuju ekonomi hijau, kebutuhan pembiayaan menuju ke arah itu tentunya tidak dapat ditanggung hanya dengan mengandalkan APBN. Pemerintah membutuhkan sinergi dengan swasta, bahkan bantuan organisasi internasional, agar pengembangan dan pembiayaan ekonomi hijau dapat berjalan secara optimal.
Demi mengakselerasi partisipasi swasta, pemerintah memberikan dukungan berupa kebijakan dan kerangka peraturan yang menguntungkan sektor swasta. Dalam tataran yang lebih praktis, konteks isu keuangan hijau atau berkelanjutan lantas diterjemahkan oleh industri keuangan tanah air, terutama perbankan dengan memperkuat bisnis utamanya.
Sebagai motor perekonomian, bank memperkuat portofolio pembiayaan hijau atau green financing untuk mendanai berbagai proyek yang sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan. Hampir semua bank papan atas di Indonesia, mencatat pertumbuhan portofolio kredit hijau.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya, mencatat portofolio terhadap pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp226,3 triliun hingga semester pertama tahun ini. Jumlah itu mewakili 25 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perseroan.
Angka itu juga tercatat konsisten tumbuh dibandingkan dengan posisi pada 2019 yang masih di kisaran 20 persen. Porsi pembiayaan terbesar menyasar sektor perkebunan, terutama industri kelapa sawit berkelanjutan. Selain itu, sektor transportasi dan energi bersih.
Demikian halnya dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang membukukan portofolio pembiayaan hijau hingga Rp657,1 triliun atau 65,5 persen dari total kredit yang disalurkan hingga Juni 2022. Dari total portofolio itu, mayoritas disalurkan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan bisnis utama BRI.
Selain sektor UMKM, pembiayaan hijau BRI menyasar sektor energi, transportasi, bangunan ramah lingkungan, pengairan, dan lainnya. Komitmen kedua bank dengan aset terbesar di Indonesia itu menjadi gambaran keseriusan industri perbankan dalam praktik ekonomi berkelanjutan yang menjadi bagian dari kerangka Presidensi G20.
Pendekatan Baru
Meski demikian, harus diakui tantangan dalam pembiayaan hijau ini tak mudah. Sebagai sebuah bidang yang relatif baru, tolok ukur pembiayaan hijau tentu juga membutuhkan pendekatan baru. Semua komponen yang terlibat dalam ekonomi berkelanjutan, baik itu pemerintah, korporasi, hingga lembaga keuangan perlu memastikan indikator dalam green financing terpenuhi, baik itu kelayakan proyeknya, keberpihakan terhadap lingkungan, hingga pengembangan masyarakatnya.
Di luar itu, pelaku industri juga perlu dorongan dengan berbagai skema insentif supaya memiliki komitmen dalam mengembangkan sektor-sektor bisnis yang ramah lingkungan. Dengan makin masifnya sektor ramah lingkungan itu, diharapkan nilai keekonomian dari sebuah proyek hijau dapat tercapai. Bila nilai keekonomian tercapai, perbankan pun akan melihat proyek-proyek ramah lingkungan memang layak didanai.
Jadi, perencanaan sebuah proyek berkelanjutan senantiasa harus diperhitungkan dengan cermat. Sehingga jargon hijau tersebut tetap akan menghasilkan profit. (Firman Hidranto)