Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia menyumbang 54 persen market share dunia.
Bangga dengan produk buatan dalam negeri, janganlah sekadar slogan. Hendaknya, hal itu menjadi sebuah tekad bahkan tindakan dalam bentuk aksi nyata. Dengan demikian, produk buatan lokal semakin memiliki daya saing, dibandingkan produk sejenis dari negara lain.
Demikian pula dengan industri kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Salah satu tantangan bagi industri kelapa sawit Indonesia saat ini adalah masalah tata kelola produksi yang dapat menjamin keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Nah, sertifikasi terhadap tata kelola produksi dan perdagangan sawit merupakan jawaban untuk mengatasi persoalan tata kelola tersebut. Sebagai gambaran, ada sertifikasi yang bernama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi sawit itu diinisiasi oleh berbagai pemangku kepentingan perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan organisasi nonpemerintah/NGO).
Pada tataran nasional, sejak 2009 Pemerintah Indonesia telah membentuk Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sebuah standar keberlanjutan atau sertifikasi yang wajib dimiliki semua perusahaan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Adanya beleid atau regulasi yang mengatur sertifikasi ISPO ini diakui cukup memberikan pengaruh positif, termasuk meredam kampanye negatif.
Aturan tersebut juga dipandang efektif membuat petani kelapa sawit naik kelas. Dari yang sebelumnya tidak ISPO, kini mereka diwajibkan petani tersertifikasi.
Soal kewajiban sertifikasi itu sendiri tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Selanjutnya, aturan itu disebut dengan Perpres Sistem Sertifikasi ISPO.
Intisari Perpres nomor 44 tahun 2020 menjelaskan dan mengatur bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia menyerap tenaga kerja cukup besar dan menyumbang devisa bagi negara sehingga diperlukan sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang efektif, efisien, adil, dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Sebelum muncul perpres, soal industri sawit yang berkelanjutan telah diatur melalui Permentan nomor 19 tahun 2019 tentang Pedoman Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia. Permentan itu mewajibkan seluruh tipe usaha kelapa sawit yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
Perpres nomor 44 tahun 2020 dan Permentan nomor 38 tahun 2020 berjalan berdampingan. Kedua aturan tersebut menjadi kewajiban bagi perusahaan dan perkebunan kelapa sawit. Mereka wajib memperhatikan berbagai aspek lingkungan hidup dan sosial untuk memastikan keberlanjutan.
Data Kementerian Pertanian, sebanyak 755 perkebunan sudah memiliki sertifikasi ISPO hingga 31 Maret 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 668 perkebunan milik perusahaan swasta dan 67 di antaranya milik perusahaan BUMN. Sementara itu, baru 20 perkebunan rakyat yang mendapatkan sertifikasi ISPO.
Dari 20 perkebunan kelapa sawit rakyat, sebanyak 14 perkebunan tergabung dalam koperasi, sebanyak 4 perkebunan tergabung dalam Koperasi Unit Desa (KUD), 1 kebun dalam BUMDes, dan 1 perkebunan dari asosiasi gabungan kelompok tani.
Adapun luas total perkebunan kelapa sawit sudah bersertifikasi ISPO mencapai 5,8 juta hektare. Atau setara dengan 35,40 persen dari potensi 16,38 juta hektare yang ada. Dalam rangka mendorong sertifikasi ISPO itu, pemerintah pun men-deadline pekebun sawit agar mengantungi ISPO per 2025.
Gencarkan Sosialisasi ISPO
Sementara itu, Narno, selaku Ketua Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Fortasbi, berharap agar pemerintah meningkatkan intensitas sosialisasi kepemilikan sertifikat ISPO di 24 provinsi produsen sawit nasional. Untuk menggenjot sertifikasi ke pelaku industri sawit, sambung dia, bisa dilakukan dengan mengoptimalkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
BPDPKS sendiri merupakan unit organisasi noneselon di bidang pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan. BPDPKS dapat menyediakan pembiayaan kepada pekebun kelapa sawit yang dikategorikan dalam delapan kelompok, salah satunya pembiayaan sertifikasi ISPO.
Secara terpisah, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto telah meminta pemda agar terus mengawal keberlanjutan investasi industri kelapa sawit nasional. “Keterlibatan pemda diperlukan mengingat pentingnya peran industri sawit dalam menunjang pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya Satu forum bertema ‘Menuju Industri Sawit Borneo Lebih Berkelanjutan’, Rabu (24/8/2022).
Menurut Menko Perekonomian, pemda diminta terus mengawal keberlanjutan investasi industri kelapa sawit dengan memberikan kepastian hukum berusaha, mendorong pelaksanaan program peremajaan sawit rakyat (PSR), dan menjaga kemitraan antara perkebunan sawit rakyat dengan perkebunan besar.
Airlangga menuturkan, peran sektor pertanian sebagai salah satu kontributor penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari dukungan subsektor perkebunan terutama sawit.
Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia menyumbang 54 persen market share dunia, sehingga ekspor produk industri sawit Indonesia mampu menjangkau lebih dari 125 negara untuk keperluan pangan, energi, dan aneka industri hilir lainnya.
“Potensi ekspor yang besar itu perlu terus kita dorong sejalan dengan masih adanya peningkatan harga komoditas sawit yang masih tinggi demi kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. (Firman Hidranto)