BALI – Menparekraf Sandiaga Uno berniat menguji coba carbon footprint dan carbon offsetting di Bali. Dunia pariwisata harus berkontribusi dalam capaian pemangkasan emisi karbon nasional.
Jalan-jalan berwisata itu membakar kalori dan mengemisikan karbon (CO2). Untuk terbang pulang-pergi sejauh 3.300 km dari Bandara Changi, Singapura, ke Ngurah Rai, Denpasar, Bali, penumpang kelas ekonomi rata-rata mengemisikan CO2 sebesar 618 kg.
Semakin jauh jaraknya, semakin besar emisinya. Rata-rata penumpang dari Sydney ke Bali, sejauh 9.300 km (PP), memancarkan 1.500 kg CO2. Penumpang kelas binis menorehkan emisi lebih tinggi, karena mereka mengokupansi ruang kabin dengan lebih besar.
Belum lagi perjalanan daratnya. Transportasi taksi Bandara Ngurah Rai ke penginapan disebutlah Pantai Canggu di Kuta Utara, sejauh 20 km, akan memakan waktu 40-50 menit. Asumsikan, bahan bakar Pertalite taksi perlu dua liter (sekitar 1,5 kg). Pembakaran Pertalite 1,5 kg itu mengemisikan sekitar 4,6 kg CO2. Lebih hemat, bila satu taksi bisa diisi dua atau tiga penumpang.
Emisi karbon itu akan terus bergulir seperti argo taksi. Begitu sang wisatawan melakukan mobilitas, dengan sepeda motor, misalnya, emisi karbon bertambah pula. Konsumsi listrik untuk kamar hotel juga punya konsekuensi karbon. Bahkan, makanan dan minuman yang disantap pun ada hitungan karbonnya.
Pada sejumlah kesempatan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Sandiaga Uno pun menyatakan, sektor pariwisata itu menyumbang lima persen dari emisi karbon dunia. Kendati tak sebesar sektor energi, industri pengolahan, atau forest and lang use (FoLU), Sandiaga Uno mengajak pelaku industri pariwisata untuk terus ikut mengupayakan tata kelola tourisme yang rendah karbon.
Program rendah karbon itu sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang saat ini diinisiasi oleh banyak kalangan. Salah satu implementasi yang sederhana ialah penggunaaan aplikasi carbon footprint calculator, yang mengaudit emisi karbon pemakainya berdasarkan mobilitas dan pilihan moda transportasinya.
Selangkah lebih jauh, ada carbon offset, yakni kegiatan untuk mengimbangi emisi karbon (yang tercatat dalam footprint calculator) dengan aksi penangkapan karbon.
‘’Program carbon offset adalah upaya kita berkontribusi dalam penyeimbangan emisi karbon. Kita harus seimbangkan nilai emisi yang dihasilkan aktivitas pariwisata dunia. Saat ini sektor pariwisata menyumbang lima persen emisi dunia. Ini data Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia,” kata Sandiaga Uno, dalam Weekly Press Briefing, Senin, 30 Mei 2022.
Menteri Parekraf Sandiaga Uno berniat melakukan uji coba pengenaan carbon footprint calculator di Bali. Carbon footprint ini kemudian akan dikaitkan dengan carbon offset agar secara langsung ada aksi konkret yang bisa dilakukan.
Sandiaga Uno mengatakan, banyak negara telah menstandardisasi pemakaian energi dan konversinya ke jejak karbon pada semua industri. Agar tak ketinggalan kereta, pemerintah harus bergerak cepat dengan meluncurkan program carbon footprint calculator. Program ini dikatakan sebagai langkah nyata mengaudit jejak karbon dari berbagai sektor kegiatan, termasuk di industri pariwisata. Upaya ini bisa digunakan untuk menyusun langkah mitigasi terkait perubahan iklim.
‘’Dalam dunia pariwisata, carbon footprint calculator bisa digunakan untuk menghitung berapa besar emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas wisatawan di lingkungan destinasinya,’’ ungkap Sandi Uno.
Jumlah emisi yang ada bisa langsung diseimbangkan (offsetting) dengan aksi mitigasi yang nyata. ‘’Misalnya, wisatawan terbang dari New York ke Bali. Bisa dihitung, kalau naik kelas ekonomi, dia harus menanam 20 pohon. Kalau naik kelas bisnis tentunya lebih. Nanti bisa diberikan opsi di destinasi, seperti menanam mangrove mungkin di Desa Wisata Pemuteran yang ada di Buleleng, atau kita bisa menanam pohon di Danau Batur,’’ Sandiaga Uno menambahkan.
Menanam pohon Puspa atau Meranti di Danau Batur atau menanam mangrove di pantai menjadi aksi konkret untuk offsetting karbon. Sebatang mangrove dapat menyerap 300 kg dalam 25 tahun pertama hidupnya. Satu hektare hutan mangrove menyimpan sekitar 850 ton CO2. Jumlah itu 2–4 kali lebih tinggi dari carbon sink hutan tropis pada umumnya.
Namun, serapan karbon oleh pepohonan itu ada masalah dengan keterbatasan ruang. Bila sebuah pesawat berbadan sedang, dengan 200 seat terbang, pulang-pergi dari Sydney ke Bali, dan masing-masing penumpang punya “utang” 1,5 ton karbon, maka offsetting karbonnya keseluruhan ialah 300 ton. Itu bisa setara dengan 1 hektare hutan.
Kalau frekuensi pesawat 200 kali per tahun, maka perlu 300 hektare lahan kosong untuk ditanami. Belum lagi, penerbangan dari Perth, Melbourne, Singapura, Kualalumpur, Hongkong, Beijing, dan banyak kota embarkasi lainnya. Perlu lahan cukup besar untuk offset.
Namun, penanaman pohon hanya satu model. Banyak cara untuk offset karbon, termasuk dengan berkontribusi pada pengadaan energi terbarukan. Yang mendesak ialah menyusun kebijakan yang saling mendukung di semua negara. Offset karbon perlu menjadi gerakan dalam skala global.
‘’Karena itu kita ingin memanfaatkan momentum G20 (November 2022) nanti untuk menyuarakan inisiatif pariwisata berkelanjutan, sekaligus mempromosikan ekowisata Indonesia. Sudah saatnya kita menjadi bagian dari solusi, bukan jadi bagian dari permasalahan,” ujar Sandiaga Uno.
Dalam konteks G20 ini, Manparekraf Sandiaga Uno kini makin bersemangat mendorong pilar-pilar The Tourism Working Group merumuskan secara cermat cakupan pariwisata berkelanjutan supaya lebih mudah dioperasionalkan. Sandi Uno ingin membawa dunia parekraf sebagai unsur yang turut berkontribusi dalam pencapaian target pemangkasan emisi karbon nasional, melalui aksi nyata di bidang climate action, biodiversity, conservation, dan circular economy.
‘’Saya yakin kita bisa mencapai target net zero emisi pada 2060. Ini bukan untuk kita, tapi untuk anak cucu kita ke depan. Kita harus berikan warisan pariwisata yang lebih berkelanjutan sehingga keindahan alam kita ini bisa kita wariskan kepada generasi penerus kita,” kata Sandiaga Uno.
Naik Peringkat
Kegiatan pariwisata hijau yang makin ramai digelar di tanah air nyatanya juga tidak menyurutkan daya saing. Mengacu pada World Economic Forum Travel and Tourism Development Index 2021, dengan tema “Rebuilding for a Sustainable and Resilient Future” yang dirilis Mei 2022, Indonesia berhasil naik ke peringkat ke-32 dari 117 negara yang diobservasi. Naik 12 tangga.
Di kawasan Asia Pasifik, menurut Sandiaga Uno, pariwisata Indonesia berhasil masuk ke deretan 10 besar. Di Asean, Indonesia berada di posisi kedua, persis di bawah Singapura. Indonesia telah menyalip Thailand dan Malaysia.
‘’Asia Pasifik ini adalah kawasan dengan kinerja sektor pariwisata tertinggi kedua di dunia (setelah Eropa), dan Indonesia kini masuk dalam posisi yang sangat bisa dikategorikan luar biasa,” Menteri Parekraf Sandiaga Uno menambahkan.