JAKARTA – Pertamina Power Indonesia dan Perum Perhutani mengembangkan Nature Based Solution (NBS), sebagai strategi mencapai target NDC Indonesia pada 2030.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus berupaya mendukung pemerintah mencapai target nationally determined contribution (NDC) 2030. Pada Senin, 20 Juni 2022, Pertamina Power Indonesia (PPI) bersepakat akan mengembangkan proyek nature based solution (NBS) di lahan Perum Perhutani.
PT Pertamina Power Indonesia sebagai subholding power new and renewable energy dari PT Pertamina (Persero) melakukan penandatanganan head of agreement (HOA) dengan Perum Perhutani. Penandatanganan HOA dilakukan antara Chief Executive Officer Pertamina NRE Dannif Danusaputro dan Direktur Operasi Perum Perhutani Natalas Anis Harjanto, disaksikan langsung Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury serta Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) Mulyono, di Sentul Eco Edu Tourism Forest, Bogor, Jawa Barat, Senin, 20 Juni 2022.
Pengembangan NBS merupakan salah satu upaya mengurangi emisi dari gas rumah kaca (GRK). Dengan begitu, target NDC Indonesia 2030 diharapkan tercapai. Dan proyek NBS merupakan inisiatif strategis Kementerian BUMN untuk mendukung dekarbonisasi.
“Saya ingin menyampaikan dukungan dan apresiasi kepada para Direksi BUMN khususnya Perhutani dan PPI, yang telah mewujudkan langkah awal yang konkret untuk mendorong target dekarbonisasi dengan proyek NBS. Ini ditujukan untuk memanfaatkan, mengelola, dan melestarikan wilayah hutan dalam mencegah perubahan iklim. Saya juga mengapresiasi dan mengharapkan terus dukungan lembaga terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dari sisi regulasi dan perizinan untuk mencapai target NDC,” ujar Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury, dalam sambutannya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo pada Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang ke-21 di Paris pada 2015 menyatakan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK 29% di bawah business as usual (BAU) pada 2030 dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional.
Khusus di sektor energi, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 314 MtonCO2e pada 2030 dan target efisiensi energi hingga 30%. Sedangkan untuk sektor the food and land use (FOLU), target pengurangan emisi GRK mencapai 497 MtonCO2e dengan 17.2% dari total BaU.
Pertemuan COP21/CMP11 UNFCCC, atau disebut juga Paris Climate Change Conference 2015 menjadi titik kulminasi dari pembahasan yang dimulai sejak COP-17 di Durban, pada 2011, untuk menegosiasikan rezim baru dalam penanganan perubahan iklim pasca-2020 yang berlaku bagi negara pihak UNFCCC dengan prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities (CBDR–RC).
Untuk konteks nasional, sejumlah butir Nawacita Presiden Joko Widodo mengamanatkan aksi yang mengandung manfaat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Misalnya, tentang penguatan sektor kehutanan, serta membangun tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam dokumen the First NDC Indonesia, diuraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Ada lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi GRK 29 % dari BAU 2030, yakni kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%).
Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury berharap, Perhutani dan PPI segera melaksanakan kegiatan inisiatif NBS dengan peran Perhutani sebagai penyedia lahan dan PPI berperan sebagai pengelola bisnis project NBS serta segera menyelesaikan proses validasi dan verifikasi agar carbon credit agar dapat dikomersialisasikan.
Perhutani dan PPI juga dapat membantu KLHK dalam proses penyusunan kebijakan tata laksana perdagangan karbon dengan memberikan masukan-masukan yang implementatif. “Jika NBS dapat berjalan, maka akan menjadi pioneer wilayah konsesi hutan lainnya,” ujar Pahala Mansury, dalam arahannya.
Alhasil, perusahaan BUMN tidak hanya menjadi penonton, melainkan bisa menjadi pemenang di level internasional dalam inisiatif dekarbonisasi. NBS Co merupakan bagian dari lima inisiatif Kementerian BUMN dalam mendukung target dekarbonisasi.
Seperti diketahui, ada proyek BUMN lainnya yang bergerak pada pengembangan ekosistem bisnis EV dan juga proyek cofiring biomassa kerja sama antar-BUMN. Lebih lanjut, Pahala menuturkan, proyek itu bertujuan mengintensifkan kegiatan pelestarian hutan demi mengurangi pelepasan emisi GRK dari sektor kehutanan.
Serta, Pahala menambahkan, memberikan dampak positif bagi penyerapan emisi karbon dan keanekaragaman lingkungan. Melalui hal itu diharapkan, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), khususnya terkait sektor energi, bisa terdorong.
Perhutani dan PPI perusahaan telah melakukan pra-feasibility study (FS) di sembilan lokasi perhutanan milik Perhutani Group, yang berada di luar Jawa. Hasilnya, ada dua dari sembilan lokasi yang memiliki potensi besar untuk dilakukan pilot pengembangan NBS.
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengungkapkan, pelestarian dan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari investasi yang harus dilakukan. “Kami harapkan ada verifikasi dan sertifikasi yang menyatakan bahwa (hutan-hutan) ini akan menghasilkan carbon credit sekian ton. Sehingga, per hektare yang dilestarikan, ada nilainya. Termasuk berapa pengurangan emisi CO2 (karbondioksida) yang bisa dilakukan,” terangnya.
Dannif meyakini, nature based solutions ini akan menjadi salah satu proyek utama mereka. Sebab, sambung dia, itu sejalan dengan fokus bisnis perusahaan mengenai low carbon solutions.
Dannif memastikan, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan utilisasi EBT di internal Pertamina. Serta mengembangkan solusi dekarbonisasi seperti electric vehicle (EV) ecosystem, green hydrogen, dan energy efficiency guna mencapai target penurunan emisi Pertamina Group.
Sedangkan Direktur Operasi Perhutani Natalas Anis Harjanto memaparkan, proyek ini selain menekan laju deforestasi, memiliki tujuan untuk memperluas tutupan lahan. Dan pada akhirnya, kata dia, akan meningkatkan kemampuan kawasan hutan dalam menyerap emisi gas rumah kaca.
“Dari hasil FS, di sembilan lokasi akan mampu menghasilkan carbon credit lebih dari 11,6 juta ton CO2 per tahun. Dengan monetasi yang tepat, proyek ini bisa menjadi bisnis baru dan memberi nilai tambah,” tuturnya, seperti dikutip sejumlah media. (***)