Forum G20 Mendorong Menciptakan Kebijakan yang Adil bagi Tiap Negara

Forum G20 Mendorong Menciptakan Kebijakan yang Adil bagi Tiap Negara

JAKARTA – Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah yang paling mengkhawatirkan karena banyaknya negara yang akan mengalami goncangan kenaikan harga dan utang akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.

Forum Joint Finance and Health Minister Meeting (JFHMM) Pertama diselenggarakan di Bali pada 20-21 Juni 2022. Forum itu menghasilkan kesepakatan Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan negara-negara G20 terkait pembentukan Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) untuk kesiapsiagaan, penanggulangan, dan respons (preparedness, prevention, and response/PPR) pandemi.

Kesepakatan tersebut diapresiasi para pemerhati dan akademisi Indonesia. Langkah itu dinilai sebagai upaya nyata dari Indonesia mendorong negara-negara G20 menghadapi kemungkinan munculnya pandemi baru di masa mendatang. Badai pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir membuat banyak negara di dunia mengalami krisis sosial ekonomi yang mendalam.

World Bank atau Bank Dunia dalam laporannya bertajuk “Global Economic Prospects”, menyoroti keterbukaan negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika. Menurut Bank Dunia 40 persen dari negara tersebut tidak menerbitkan laporan utang mereka lebih dari dua tahun.

Bank Dunia juga mencatat beban utang negara berpendapatan rendah naik 12 persen menjadi USD860 miliar pada 2020 di mana beban berat ditanggung negara-negara Sub-Sahara Afrika. Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah yang paling mengkhawatirkan karena banyaknya negara yang akan mengalami goncangan kenaikan harga dan utang akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.

“Lebih dari 60 persen wilayah Sub-Sahara Afrika memiliki risiko tinggi karena beban utang yang naik akibat pandemi. Pengetatan kondisi keuangan global akan sangat menyulitkan mereka dalam mengakses pembiayaan,” tulisan laporan Bank Dunia tersebut.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyatakan, pandemi Covid-19 yang terjadi dalam dua tahun terakhir memang telah menyadarkan dunia betapa pentingnya sumber pendanaan menghadapi pagebluk. “Poinnya adalah (FIF) ini penting, vital. Tetapi tentunya masih banyak hal yang diperlukan pada tingkatan mekanisme. Mungkin perlu juga dukungan politik dari negara-negara G20,” ujar Yose, Sabtu (25/6/2022), dalam keterangan pers dari Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo.

Kesepakatan pembentukan FIF PPR, dikatakan Yose, sangat krusial. Tinggal saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyusun mekanisme pengelolaan, penggunaan, dan pendistribusian dana urunan tersebut. Negara-negara G20, katanya, harus bisa menciptakan kebijakan yang adil bagi tiap negara.

Badan maupun organisasi yang mengelola FIF juga diharapkan bisa mengkurasi dengan baik pemanfaatan dana secara merata. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi negara yang kesulitan menghadapi pandemi karena minimnya kemampuan fiskal.

Melalui FIF pula, diyakini akan ada peringatan dini mengenai potensi ancaman dari dampak yang ditimbulkan dari penyebaran wabah. Yose, yang juga Executive Co-Chair Think20 (T20), menilai bahwa ada tiga hal yang mesti segera ditemukan solusinya terkait FIF PPR.

Pertama, negara anggota G20 mesti bisa mendorong kecukupan dana FIF. Sebab, dana penanggulangan pandemi tidak sedikit. Hal itu berkaca dari biaya penanganan Covid-19 di level global yang menghabiskan puluhan miliar dolar Amerika Serikat.

Diperlukan komitmen lebih banyak negara-negara lain guna mendapatkan dana yang lebih besar. Sementara saat ini komitmen yang disampaikan sejumlah negara dalam forum G20, baru mencapai USD1,1 miliar. Kedua, negara anggota G20 perlu memastikan keberlanjutan FIF PPR. “Ini harus sustainable. Jadi sama seperti IMF (International Monetary Fund), di mana setiap tahun selain punya modal dasar, mereka juga diberikan oleh anggota-anggotanya terus-menerus. Jadi selain harus cukup, komitmen itu juga harus berkelanjutan, jangan nanti ketika sudah dua tiga tahun pandemi selesai, dana ini ditinggalkan,” jelas Yose.

Ketiga, negara anggota G20 perlu menentukan mekanisme implementasi penggunaan dana. Tujuannya mesti terang agar bisa berjalan dengan efektif. Karena didasari sebagai kesiapsiagaan serta penanggulangan, dana ini mestinya juga dapat mencakup penyiapan riset, produksi obat, hingga pendanaan guna merespons persoalan yang muncul dari pandemi.

“Harus jelas pula siapa yang menjadi lembaga pelaksananya. Sekarang ini kita punya WHO (World Health Organization), sementara dana ini dijalankan World Bank. WHO kita tahu punya dana global yang selama ini lebih banyak untuk malaria, HIV, dan AIDS. Ini harus ada kejelasan, kemudian bisa dijalankan atau didukung oleh FIF ini,” terang Yose.

Adapun, periset dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan, inisiasi yang digagas ini merupakan awal yang baik untuk menghindari dampak terburuk persoalan krisis global di masa mendatang. Melalui terobosan ini, diharapkan tidak ada negara yang tertinggal untuk melakukan pemulihan.

Senada dengan Yose, Kepala Kajian Makroekonomi dan Ekonomi Politik Lembaga Penyelidikan Masyarakat dan Ekonomi Universitas Indonesia Jahen Fachrul Rezki mengatakan, FIF dapat menjadi alternatif pendanaan bagi negara-negara miskin maupun berkembang menghadapi ancaman pandemi. Tiap negara akan memiliki amunisi yang cukup untuk menangani kebutuhan, baik dari pembiayaan, akses kepada obat, maupun vaksin ketika krisis terjadi.

Dalam, pertemuan pertama JFHMM disepakati komitmen dana mencapai USD1,1 miliar (Rp16,28 triliun dengan kurs Rp14.800), berasal dari dari Amerika Serikat (USD450 juta); Uni Eropa (USD450 juta); Indonesia (USD50 juta); Jerman (EUR50 juta); Bank Dunia (USD10 juta); dan Singapura USD10 juta.

Para menteri keuangan dan menteri kesehatan dalam forum itu sepakat menunjuk Bank Dunia sebagai wali amanat FIF PPR serta mempertajam peranan WHO. Hasil forum tersebut akan menjadi bagian diskusi Pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada Juli dan ditindaklanjuti pada JFHTF G20 selanjutnya, dalam rangka menuju Joint Finance and Health Minister Meeting ke-2 yang akan diselenggarakan pada November 2022. (***)