JAKARTA – Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, industri perbankan syariah di Indonesia berpotensi besar untuk berkembang.
Industri perbankan syariah di Indonesia diyakini memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Sejak awal dirintis, perbankan syariah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan utama masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan finansial sesuai prinsip syariah.
Dalam konteks di atas, ada dua model layanan yang dilakukan pelaku perbankan untuk layanan itu. Pola bisnis perbankan syariah, Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Keduanya tetap menjunjung syariah governance dan prinsip-prinsip syariah secara benar dan disiplin.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, industri perbankan syariah di Indonesia memiliki potensi besar untuk terus berkembang. Meski demikian, fakta menunjukkan perbankan syariah hanya menggenggam 6,7 persen market share dari keseluruhan industri perbankan.
Kenyataan di atas menarik untuk dicermati. Masih diperlukan upaya ekstra untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah, agar dapat berkompetisi dengan perbankan konvensional.
Sejatinya, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengungkit daya saing perbankan syariah. Salah satu ikhtiar yang semula diyakini dapat meningkatkan market share perbankan syariah yaitu mendorong unit usaha syariah untuk spin off dari induknya.
Berkaitan dengan prospek industri perbankan syariah, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin pun mengungkapkan, sejumlah tantangan dalam pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia.
Menurutnya, terdapat empat tantangan yang masih perlu diatasi, di antaranya, market share perbankan syariah yang masih rendah terhadap perbankan nasional dan inovasi digitalisasi yang mengubah model bisnis keuangan. Kemudian, tantangan lainnya adalah kewajiban spin off atau pemisahan unit usaha syariah dan porsi keberpihakan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang masih rendah.
“Menghadapi berbagai tantangan tersebut, industri perbankan syariah dituntut untuk terus melakukan transformasi, utamanya dalam hal penguatan model bisnis, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM, optimalisasi pemanfaatan teknologi, serta percepatan pertumbuhan literasi dan inklusi keuangan syariah,” ujarnya dalam acara Silaturahim Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dikutip dari keterangan resmi, Rabu (25/5/2022).
Memang benar, UU nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang mewajibkan Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki unit usaha syariah untuk melakukan pemisahan menjadi bank umum syariah, paling lambat 15 tahun sejak diundangkan atau pada 2023.
Sejak diundangkan pertama kali melalui UU 21/2008 hingga saat ini, sudah 14 tahun industri perbankan syariah menyiapkan industri yang mandiri dan independen yang diperhitungkan dan berdaya saing berkaitan dengan layanan perbankan kepada umat berbasis syariah.
Menyisakan waktu satu tahun dari perintah UU, pelaku industri perbankan syariah masih berkembang dalam dua kubu, spin off unit usaha syariah menjadi bank umum syariah atau tetap dalam bentuk unit usaha syariah?
Mari kita tinjau dari berbagai aspek perbandingan bank urusan syariah dan unit usaha syariah tersebut. Bila dipotret dari sisi kelembagaan. Pada akhir 2021 terdapat 12 bank urusan syariah dan 21 unit urusan syariah pada industri perbankan syariah di Indonesia.
Dari total 21 inti urusan syariah, mayoritas merupakan bank yang memiliki modal kecil dan skala bisnis terbatas. Dengan modal minim, maka akan membatasi ekspansi usaha bank urusan syariah hasil spin off khususnya dalam hal pembiayaan yang merupakan jantung dari bisnis perbankan.
Pertama, kinerja keuangan. Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang periode 2016–2021, unit usaha syariah menunjukkan pertumbuhan signifikan dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) pada aset, financing, funding, dan Profit Before Tax (PBT) secara rata-rata lebih tinggi (>18 persen) dibandingkan dengan bank urusan syariah (<13 persen).
Demikian juga dari sejumlah rasio kunci unit urusan syariah dalam 5 tahun terakhir. Masih merujuk data yang sama, seperti Return on Asset (RoA) sebesar 2,2 persen dibandingkan bank umum syariah 1,3 persen; Net Operating Margin (NOM) unit urusan syariah sebesar 2,3 persen sementara bank umum syariah sebesar 1,4 persen.
Di sisi lain, Non Performing Financing (NPF) unit urusan syariah pada tingkat di bawah 3 persen sementara bank umum syariah >4 persen; dan Biaya Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO) unit urusan syariah pada tingkat <80 persen sementara bank umum syariah >85 persen.
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan industri perbankan syariah tetap masih menjanjikan. Ke mana arah yang mau diambil pelaku industri itu? Semua kembali kepada pelakunya. Tinggal bagaimana pelakunya bisa melihat semua persoalannya dengan jernih.
Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang masih harus dibenahi, misalnya, soal inovasi produk, SDM, infrastruktur IT, dan layanan agar setara atau bahkan lebih baik dibandingkan bank konvensional.
Tidak itu saja, pandemi yang menguras semua sumber daya tentu harus diperhitungkan sebelum menjadi entitas yang mandiri dan independen sehingga tentu juga terbuka opsi agar kewajiban spin off bagi unit urusan syariah pada 2023 dapat diubah menjadi pilihan sukarela.
Yang harus dipahami adalah industri perbankan syariah tetap memiliki prospek yang luar biasa untuk terus maju di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam sehingga akselerasi literasi dan inklusi perbankan syariah akan lebih cepat lagi. (***)