Ferdinand Marcos Jr Menang, Hubungan Filipina dengan AS Terancam

Ferdinand Marcos Jr Menang, Hubungan Filipina dengan AS Terancam
ARA ZIMMERMAN DUTERTE-CARPIO - FERDINAND "BONGONG" MARCOS JR (AFP)

FILIPINA – Pada 26 Februari 1986, Ferdinand Marcos dan keluarga terusir dari negara mereka. Presiden ke-10 Filipina tersebut dilengserkan oleh rakyatnya karena kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kediktatoran.

Kini, setelah 36 tahun berlalu, putranya, Ferdinand Marcos Jr alias Bongbong, bakal menempati kembali kursi kekuasaan yang pernah diduduki ayahnya selama dua dekade lebih. Pria 64 tahun itu memang belum resmi menjadi presiden terpilih Filipina.

Namun, hasil hitung sementara pemilu presiden di negara tersebut menunjukkan dia memimpin. Perolehan suaranya dua kali lipat dibandingkan saingan terdekatnya, Leni Robredo.

Dilansir Politico, hingga kemarin petang waktu setempat, surat suara yang dihitung sudah mencapai 96 persen. Bongbong mendapatkan 30,5 juta suara, sedangkan Robredo hanya 14,5 juta suara. Posisi ketiga diduduki oleh petinju Manny Pacquiao dengan 3,5 juta suara. Hasil penghitungan sementara itu membuat para pendukung Robredo frustrasi dan melakukan aksi protes.

Bongbong memang belum mengklaim kemenangan. Namun, dia sudah memberikan pidato dengan tajuk untuk bangsa kepada para pendukungnya. Dia meminta mereka untuk tetap waspada hingga penghitungan suara selesai.

’’Jika beruntung (jadi presiden, Red), saya berharap bantuan Anda tidak berkurang, kepercayaan Anda tidak akan berkurang, karena kita memiliki banyak hal yang harus dilakukan di masa depan,’’ tegasnya.

Pencalonan diri Bongbong sejatinya sudah memicu kontroversi. Banyak pihak takut kekejian di era mendiang ayahnya bakal terulang. Marcos senior dikenal sebagai perampok uang rakyat.

Dia menimbun dan menghabiskan sekitar USD 5 miliar–USD 10 miliar (Rp 72,6 triliun–Rp 145,3 triliun) dana milik pemerintah Filipina. Pemerintahannya dihiasi dengan pelanggaran HAM. Menurut Amnesty International, sebanyak 70 ribu orang dipenjara, 34 ribu disiksa, dan 3 ribu orang lainnya tewas.

Bongbong, di sisi lain, berkali-kali meminta agar penduduk Filipina fokus pada masa depan, bukan tentang masa lalu keluarganya. Sejak kembali dari Filipina pada 1991, dia memang sudah siap terjun ke politik.

Kemenangan Bongbong disebut banyak didukung operasi di dunia maya yang menyasar para pemilih muda. Tangan-tangan tak terlihat, yang tentu saja tak diakui keberadaannya oleh Bongbong, mengampanyekan secara masif bahwa era Marcos senior adalah era emas.

Maria Ressa, nobelis perdamaian asal Filipina, menyebut model kampanye pihak Bongbong ini sebagai ’’bom plastik’’.

’’Keluarga Marcos telah berinvestasi dalam upaya untuk menutupi ekses rezim Marcos senior. Mereka mencoba menyebarkan gagasan dan mitos yang sangat positif di era mendiang Marcos,’’ ujar Sheila Coronel, seorang jurnalis veteran Filipina dan profesor di Columbia School of Journalism, kepada CBS News.

Agar kejahatan keluarganya tidak terus dibahas dan ilusi bahwa masa ayahnya adalah hari-hari bahagia di Filipina, Bongbong sangat jarang melakukan wawancara dan menolak ikut debat presiden. Dan, taktik itu rupanya berhasil.

Tapi, berbeda dengan sang ayah yang lebih dekat dengan pemerintah AS, Bongbong justru condong ke Tiongkok.

Karena itu, beberapa media sudah memperkirakan bahwa kemenangan Bongbong adalah kemenangan Tiongkok. Bongbong serupa dengan petahana Presiden Rodrigo Duterte yang juga lebih dekat dengan Beijing. Duterte bahkan sempat mengancam membatalkan pakta pertahanan dengan AS.

Filipina berada di garis depan jika dilihat dari ambisi Tiongkok atas Laut China Selatan. Beijing mengklaim sebagian besar perairan yang kaya sumber daya itu sebagai miliknya, bahkan setelah Manila menentangnya di pengadilan arbitrase internasional dan menang.

Bagi AS, memiliki hubungan dekat dengan Filipina, termasuk rotasi pasukan di sana, adalah hal yang sangat penting untuk strateginya di kawasan itu. Washington berusaha untuk melawan pengaruh Beijing yang semakin berkembang.

Pakar politik dan mantan peneliti di Departemen Luar Negeri Filipina Andrea Chloe Wong menegaskan bahwa hubungan Filipina-AS nanti bergantung dengan bagaimana pemerintahan Presiden Joe Biden dalam menanggapi kembalinya klan Marcos ke tampuk kekuasaan. (***)